Adab dan Tata Cara Sholat Idul Fitri

Adab Shalat Id

1. Mandi pada hari id.
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan Asy-Syafi’i; sanadnya shahih)
Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin Al-Musayyib mengatakan, “Sunnah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi.” (Ahkamul ‘Idain karya Al-Faryabi; sanadnya dishahihkan Al-Albani)
Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafi’iyyah dan pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad. Allahu a’lam.
2. Berhias dan memakai wewangian.
Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus menggosok gigi.” (HR. Ibnu Majah; dihasankan Al-Albani)
3. Memakai pakaian yang paling bagus.
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jumat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan kitab Shahihnya)
Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, “Umar bin Khathab pernah mengambil jubah dari sutra yang dibeli di pasar, kemudian dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, saya membeli ini sehingga engkau bisa berhias dengannya ketika hari raya dan ketika menyambut tamu.’ Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya karena baju itu terbuat dari sutra.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i)
Imam As-Sindi mengatakan, “Dari hadits disimpulkan bahwa berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat), dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap belaku….” (Hasyiah As-Sindy ‘ala An-Nasa’i: 3/181)
4. Makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri dengan beberapa kurma.
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berangkat shalat Idul Fitri, beliau makan beberapa kurma, dan beliau makan dengan jumlah ganjil.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Buraidah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu. Ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai shalat dahulu.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan.
Dari Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki, dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Termasuk sunnah: keluar menuju lapangan dengan jalan kaki dan makan sebelum berangkat (Idul Fitri).” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
Waktu Shalat Id
Dari Yazin bin Khumair, beliau mengatakan, “Suatu ketika Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluar bersama masyarakat menuju lapangan shalat id, kemudian beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau mengatakan, ‘Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat id) pada waktu shalat sunnah sudah dibolehkan.’” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan Abu Daud dengan sanad shahih)
Keterangan: Maksud “waktu saat shalat sunnah sudah dibolehkan” adalah setelah berlalunya waktu larangan untuk shalat, yaitu ketika matahari terbit.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Beliau mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Ibnu Umar –orang yang sangat antusias mengikuti sunnah– tidak keluar menuju lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari rumah sampai tiba di lapangan.” (Zadul Ma’ad: 1/425)
Syekh Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan, “Waktu mulainya shalat id adalah sejak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincir. Namun yang lebih utama adalah shalat Idul Adha dilaksanakan di awal waktu sehingga memungkinkan bagi masyarakat menyelesaikan sembelihannya, dan mengakhirkan pelaksanaan shalat Idul Fitri sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk membagikan zakat fitrinya.” (Minhajul Muslim, hlm. 278)
Catatan:
Jika penetapan tanggal 1 Syawal baru diketahui setelah tergelincirnya matahari maka boleh berbuka, dan shalat id-nya dilaksanakan besok pagi. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Umair bin Anas, bahwa paman-pamannya –termasuk sahabat– menceritakan, “Suatu ketika hilal Syawal tertutupi, sehingga besoknya kami berpuasa. Tiba-tiba datanglah sekelompok kafilah dari perjalanan di sore hari dan bersaksi bahwa mereka melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar para sahabat berbuka dan melaksanakan shalat id besok pagi.” (HR. An-Nasa’i dan Abu Daud; dishahihkan Al-Albani)
Tempat Pelaksanaan Shalat Id
1. Ketika di Mekkah
Tempat pelaksanaan shalat id di Mekkah yang paling afdhal adalah di Masjidil Haram karena semua ulama senantiasa melaksanakan shalat id di Masjidil Haram ketika di Mekkah.
Imam An-Nawawi mengatakan, “…Ketika di Mekkah, maka Masjidil Haram paling afdhal (untuk tempat shalat id), tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab: 5/524)
2. Di luar Mekkah
Tempat shalat id yang sesuai sunnah adalah lapangan, kecuali jika ada halangan, seperti hujan atau halangan lainnya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat id. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnul Haj Al-Makki mengatakan, “…Sunnah yang berlaku sejak dulu terkait shalat id adalah dilaksanakan di lapangan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Shalat di mesjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu kali shalat di selain mesjidku, kecuali Masjidil Haram.’ Meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan mesjid.” (Al-Madkhal: 2/438)
Catatan:
Dianjurkan bagi imam untuk menunjuk salah seorang agar menjadi imam shalat id di mesjid bagi orang yang lemah (tidak mampu keluar menuju lapangan), sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah.
Adab Ketika Menuju Lapangan
1. Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkat dan pulang). (HR. Al-Bukhari)
2. Dianjurkan bagi makmum untuk datang di lapangan lebih awal. Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat dimulai, karena imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat.
3. Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di lapangan.
Termasuk sunnah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki.
Dari Ibnu Abi Dzi’bin dari Az-Zuhri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat shalat Idul Fitri dan beliau bertakbir sampai tiba di lapangan. Setelah selesai shalat, beliau memutus takbir. (HR. Ibnu Abi Syaibah; dishahihkan Al-Albani)
Riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Faryabi; dishahihkan Al-Albani)
Riwayat dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu berangkat shalat id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. Al-Faryabi dalam Ahkamul ‘Idain)
4. Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa.
Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan, “Kami bersama Ibnu Umar. Tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya, maka aku pun turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya, ‘Bolehkah kami tahu, siapa yang melukaimu?’ Ibnu Umar menunjuk orang itu, ‘Kamu yang melukaiku, karena kamu membawa di hari yang tidak boleh membawa senjata….’” (HR. Al-Bukhari)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Mereka dilarang untuk membawa senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq)


Komentar

Postingan Populer